Rabu, 03 Juni 2009

ASPEK POLITIK

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut
sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan
politik.
Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah beliau
belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri
sendiri. Umat Islam diwaktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak
sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy
yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam
lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah
ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota
Nabi.
Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya
terdapat permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu'awiah Dan
tradisi menyebut bahwa Abu Musa sebagai yang tertua, berbicara lebih
dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai putusar menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, yang berbicara
kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali
sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan
Mu'awiah. Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi
Mu'awiah.
Dari sejarah ringkas di atas dapat dilihat bahwa pada waktu itu
telah timbul-tiga golongan politik, golongan Ali yang kemudian dikenal
dengan nama Syi’ah, golongan yang keIuar dari barisan Ali yaitu.
Kaum Khawarij dan golongan Mu’awiyah, yang kemudian membentuk
Dinasti Bani Ummayah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.
Perlu dijelaskan bahwa khalifah (pemerintahan); yang timbul
sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan;
tetapi lebih dekat merupakan republic, dalam arti, Kepala negara dipilih
dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai diketahui Khalifah
pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan
darah dengan Nabi Muhammad. Khalifah kedua, Umar ibn Al-Khattab,
juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian
pula Khalifah ketiga Usman Ibn Affan dan halifah keempat Ali Ibn
Talib, satu sama lain tidak mempunyai ubungan darah. Mereka adalah
sahabat Nabi dan dengan demikian hubungan mereka sesama mereka
merupakan hubungan persahabatan.
Tetapi bagaimanapun, teori politik mereka bersifat lebih
demokratis dari teori-teori politik yang dianut oleh golongan-golongan
politik Islam lain dizaman itu.
Kaum Syi'ah, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat
bahwa jabatan Kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam, bahkan
pula tidak hak setiap orarag Quraisy, sebagai tersebut dalam teori yang
kemudian dianut oleh Ahli Sunnah itu.
Dalam sejarah mereka memang menentang Dinasti Bani
Umayyah dan aktif bekerja sama dengan Bani Abbas dalam
menjatuhkan Kerajaan yang dibentuk Mu'awiah itu. Tetapi setelah
ternyata bahwa Bani Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka
sendiri dan kemudian membentuk Dinasti Bani Abbas, kaum Syi'ah
mengambil sikap melawan terhadap mereka. Perlawanan itu menjelma
dalam bentuk gerakan-gerakan seperti yang dijalankan golongan
Qaramitah, Hasysyasyin, dan sebagainya. Gerakan mereka akhirnya
mewujudkan khilafah Syi'ah di Mesir, yaitu khilafah Fatimiah (969 -
1171 M) dan kerajaan Syi'ah di Iran semenjak tahun 1502 M.
Dalam pada itu, kaum Syi'ah juga pecah ke dalam beberapa
golongan. Yang terbesar ialah golongan Syi'ah Dua belas ( ).
Mereka disebut Syi'ah Duabelas karena mereka mempunyai duabelas
Imam Nyata ( ). Imam Pertama sudah barang tentu Ali
Ibn Abi Talib sedang Imam Keduabelas adalah Muhammad Al-
Muntazar.

Khalifah-khalifah Fatimi di Mesir, golongan Qaramitah,
Hassyasyin, kaum Ismaili di India, Pakistan dan Iran, dan kaum Duruz
di Lebanon dan Syiria termasuk dalam golongan Syi'ah Ismailia.
Selanjutnya ada lagi Syi'ah Zaidiah, yaitu pengikut Zaid Ibn Ali
Zain Al-Abidin. Berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi’ah
Ismailiah mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi. Imam
harus langsung memimpin umat. Jabatan Imam harus berasal dari
keturunan Ali dan Fatimah. Demikian faham mereka.
Syi'ah Zaidiah dalam sejarah membentuk kerajaan di Yaman
dengan San'a sebagai ibu kota. Beberapa tahun yang lalu bentuk
kerajaan ini dirobah menjadi republik, setelah terjadinya revolusi di
negara itu.
Di samping ketiga golongan besar ini, masih ada golongan-
golongan kecil seperti Syi'ah Saba'iah, pengikut Abdullah Ibn Saba',
Syi'ah Al-Ghurabiah, Syi'ah Kisaniah, pengikut Al-Mukhtar Ibn Ubaid
Al-Tsaqafi dan Syi'ah Al-Rafidah.
Sebelum melanjutkan uraian, ada baiknya disimpulkan dahulu
yang telah diterangkan di atas.
Teori politik yang pertama timbul dari perkembangan politik ini
terjadi dalam sejarah Islam ialah mengenai jabatan Kepala Negara. Di
zaman Nabi Muhammad jabatan itu mempunyai bentuk yang unik.
Beliau, sebagai Rasul yang diutus Tuhan, membawi ajaran-ajaran yang
bukan hanya bersangkutan dengan hidup kerohanian tetapi juga ajaranajaran
mengenai hidup keduniaan manusia. Oleh karena itu Nabi
mempunyai kedudukan, bukan hanya sebagai Kepala Agama, tetapi
juga sebagai Kepala Negara. Dengan lain kata, alam diri Nabi
terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spirituil dan kekuasaan sekuler.
Imam mempunyai sifat kekudusan yang diwarisi dari Nabi, dalam
arti Ali menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husein dari Ali, Ali
Zainal Abidin dari Husein dan demikianlah seterusnya oleh cucu-cucu
beliau. Di samping itu Imam mempunyai kekuasaan untuk membuat
hukum. Perbuatan-perbuatan serta ucapan-ucapan Imam tidak bisa
bertentangan dengan syariat. Dengan demikian bagi kaum Syi'ah, Imam
hampir sama sifat dan kekuasaannya dengan sifat dan kekuasaan Nabi.
Imam dan Nabi sama-sama tak dapat berbuat salah dan sama-sama
dapat membuat hukum. Perbedaan terletak dalam keadaan Nabi
menerima wahyu sedang Imam tidak.
Faham-faham di atas sama-sama dianut oleh Syi'ah Duabelas dan
Syi'ah Ismailiah. Tetapi di antara golongan Ismailiah ada yang
membawa faham-faham itu bersifat ekstrim. Sehubungan dengan
kesucian Imam dari perbuatan salah, mereka umpamanya berpendapat
bahwa sungguhpun Imam melakukan perbuatan salah, perbuatannya itu
sebenarnya tidak salah. Dengan lain kata perbuatan yang bagi manusia
biasa merupakan perbuatan salah, bagi Imam, itu tidak merupakan
perbuatan salah. Imam mempunyai ilmu batin, dan dengan ilmu batin
itu ia mengetahui hal-hal yang tak dapat diketahui manusia biasa. Apa
yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam
pandangan Imam. Ada lagi yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil
tempat dalam diri Imam, dan oleh karena itu Imam disembah. Khalifah
Fatimi Al-Hakim lbn Amrillah berkeyakinan bahwa dalam dirinya
terdapat Tuhan, dan oleh karena itu memaksa rakyat supaya
menyembahnya.
Ali diangkat menjadi Imam, karena sifat-sifat itu terdapat dalam dirinya. Di
antara sifat-sifat yang dimaksud ialah takwa, ilmu, kemurahan hati dan
keberanian dan untuk Imam sesudah Ali ditambahkan sifat keturunan
Fatimah.
Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik ( ),
Tetapi dalam pada itu pemuka yang tidak mencapai sifat terbaik boleh
juga menjadi Imam. Kalau yang pertama disebut Imam afdal yang
kedua disebut Imam mafdul ( ). Oleh karena itu Syi'ah
Zaidiah dapat mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mereka diakui sebagai Imam-Imam mafdul dan bukan Imam-imam
afdal.
Di samping yang tersebut di atas ada lagi faham-faham yang
iajukan oleh Syi'ah ekstrim ( ) tentang sifat Ali. Al Saba'iah

menganggap Ali Tuhan dan tidak mati terbunuh, tetapi naik ke langit.
Al-Ghurabiah mengatakan bahwa wahyu sebenarnya urunkan untuk
Ali, tetapi Jibril salah dalam rnenganggap Mu.nmad adalah Ali. A1-
Nusairiah juga berpendapat bahwa Ali adalah Tuhan, atau sekurangkurangnya
dekat menyerupai Tuhan. Golongan Syi'ah ekstrim serupa
ini tidak diakui oleh golongan Syi'ah lainnya.
Ahli Sunnah tidak menerima faham-faham tersebut di atas. Bagi
mereka Ali dan keturunannya adalah manusia biasa, sama dengan ABu
Bakar, Umar, Usman dan lain-lain. Oleh karena itu Jabatan Kepala
Negara dalam teori mereka tidak dikhususkan untuk Ali dan
keturunannya dan kalaupun dikhususkan hanya untuk suku Quraisy.
Sementara itu Ahli Sunnah membahas soal khalifah dari aspekaspek
lain. Pembahasan serupa itu dijumpai dalam buku-buku ilmu
kalam atau buku-buku yang khusus membahas soal ketatagaraan dalam
Islam, seperti, Al-Ahkam Al-Sultaniah, karangan Al-Mawardi.
Menurut Al-Mawardi syarat-syarat yang diperlukan untuk
menjadi Khalifah atau Imam, selain kesukuan Quraisy antara lain
adalah sifat-sifat adil, berilmu, sanggup mengadakan ijtihad, sehat
mental dan fisik, berani dan tegas. Imam dipilih oleh orang-orang yang
berhak untuk memilih ( ). Sifat-sifat yang diperlukan
untuk menjadi pemilih adalah adil, mengetahui syarat-syarat yang
diperlukan untuk menjadi Khalifah, dan kesanggupan untuk
menentukan dengan bijaksana siapa yang berhak untuk menjadi Kalifah
di antara calon-calan yang ada. Pemilih-pemilih itu disebut ahl al hal
waal aqad ( ) yaitu orang-orang yang dapat
menentukan. Dengan mendapat bay'ah (pengakuan). Khalifah
sebenarnya telah mengikat janji (kontrak) dengan umat. Dari pihak nya
perjanjian itu merupakan janji yang mengandung arti bahwa ia akan
menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan tulus ikhlas, dan dari
pihak umat, itu mengandung arti bahwa mereka akan patuh pada
Khalifah.

Al-Ghazali, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat,
bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun Khalifah yang zalim.
Menggulingkan Khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa
kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat. Al-Ghazali
mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Khalifah dapat
menyerahkan kekuasaan untuk memerintah kepada Sultan yang
berkuasa. Dalam sejarah Dinasti Bani Abbas memang terdapat Sultan-
sultan yang berkuasa di samping Khalifah-khalifah yang lemah.
Selain dari kaum teolog, kaum filosof Islam juga membahas soal
politik dalam Islam. Al-Farabi umpamanya, meninggalkan buku
bernama AI-Madinah AI-Fadilah ( ) Negara
Terbaik. Di dalamnya ia menguraikan bahwa negara terbaik ialah
negara yang dikepalai seorang Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul
telah selesai, maka negara terbaik kelas dua ialah negara yang dikepalai
oleh seorang filosof. Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak
dipengaruhi oleh filosof Yunani, Plato.
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa negara terbaik adalah negara
yang dipimpin Rasul dan sesudah itu negara yang dipimpin filosof,
Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum (Syari'ah) memen
tingkan soal spirituil dan moral rakyat, dan mesti bersikap adil. Ia harus
membawa umat kepada kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar